
Bagaimana pendanaan dan kompensasi iklim global menjangkau masyarakat lokal?
Komitmen global dengan aksi lokal masih jauh berbeda: Kapan dana dan kompensasi akan sampai ke tangan masyarakat lokal?
COP28 yang diselenggarakan di Dubai, Uni Emirat Arab pada tahun 2023, merupakan kali pertama saya berpartisipasi dalam Konferensi Para Pihak Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim. Partisipasi saya didukung oleh International Council of Voluntary Agencies (ICVA) dan COP28 Presidency. Karena jumlah peserta COP28 melebihi 100.000 orang, proses pendaftaran dan registrasi cukup menantang dan memerlukan waktu. Saya memperoleh akreditasi dan visa pada H-1 keberangkatan untuk menghadiri COP28.
Selama 5 hari, saya berkesempatan untuk menjelajahi zona biru dan hijau di COP28. Pada tanggal 2 Desember 2023, saya berpartisipasi dalam sesi khusus dengan Jocye Msuya, Asisten Sekretaris Jenderal untuk Urusan Kemanusiaan dan Deputi Koordinator Bantuan Darurat di OCHA (Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan). Pada kesempatan itu saya mewakili masyarakat akar rumput dan pemuda dari YAKKUM Emergency Unit (YEU), bersama dengan 7 LSM lokal dari berbagai negara lainnya untuk menyampaikan bagaimana krisis iklim berdampak pada masyarakat lokal, baik secara ekonomis maupun non-ekonomis, terutama dampaknya pada kelompok masyarakat yang lebih rentan (perempuan, lansia, anak-anak, penyandang disabilitas dan kelompok marjinal lainnya) dan untuk menyampaikan praktik-praktik baik Dana Ketangguhan Masyarakat, serta pentingnya koordinasi nasional-subnasional respons bencana dalam situasi krisis.
Pada 5 Desember 2023, saya menghadiri peluncuran program Community Resilience Partnership Program (CRPP) yang difasilitasi oleh Asian Development Bank (ADB) dengan mitranya dari berbagai negara, seperti Indonesia, Nepal, dan Timor Leste. CRPP merupakan inisiatif program global yang didukung oleh pemerintah Inggris untuk mendorong aksi adaptasi iklim lokal dengan meningkatkan kebijakan iklim dan strategi investasi adaptasi iklim lokal yang secara langsung memenuhi kebutuhan komunitas rentan. Diskusi panel pada peluncuran program ini bertema "Meningkatkan Investasi Adaptasi Lokal yang Tidak Meninggalkan Siapapun" dan saya berbagi pembelajaran utama dari Community Resilience Fund (CRF) yang merupakan salah satu pendekatan dalam CRPP yang dijalankan oleh kelompok-kelompok perempuan akar rumput di Yogyakarta, Indonesia.
Sorotan utama dari COP28 masih seputar pendanaan Loss and Damage, dimana pada awal-awal COP28 semua orang terlihat optimis dengan komitmen negara-negara selatan, tetapi tren yang baik ini tidak bertahan hingga akhir COP28 karena berdasarkan dokumen yang dirilis oleh UNFCCC, komitmen untuk mendanai Loss and Damage kurang dari 2% dari kebutuhan pembiayaan Loss and Damage per tahun. Banyak pihak yang tidak puas dengan deklarasi akhir yang menggunakan kata-kata lemah dan tidak jelas tentang keinginan untuk menghentikan penggunaan bahan bakar fosil.
Saya turut berpartisipasi dalam aksi media (media stunt) dengan delegasi dari jaringan ACT Alliance. Aksi media adalah kegiatan yang bertujuan untuk menarik perhatian dan publisitas dengan melakukan sesuatu yang tidak biasa dan layak diberitakan. Tim ACT Alliance mengatur aksi media yang dilakukan selama beberapa kali selama rangkaian COP28. Pada tanggal 4 Desember 2023, saya berpartisipasi dalam aksi media di lokasi COP28 untuk mengadvokasi keadilan iklim yang sangat terkait dengan keadilan gender. Pesan utama dalam aksi media itu adalah bahwa keadilan iklim sangat mungkin dicapai melalui keadilan gender karena keadilan iklim dan keadilan gender seperti mata koin yang tidak dapat dipisahkan.
Saya memiliki banyak pilihan untuk mengunjungi paviliun-paviliun di Zona Biru. Beberapa yang menarik adalah paviliun tematik, seperti Women and Gender Pavillion, Humanitarian Pavillion, Youth Paviliion, dan Faith Pavillion yang baru yang diluncurkan di COP28. Di Capacity Builing hub, saya mengunjungi sesi youth4capacity dan mendapatkan perangkat digital yang menarik tentang modul-modul iklim dan gender untuk dipelajari oleh aktivis muda. Hampir setiap diskusi panel di paviliun Indonesia yang saya hadiri berfokus pada beberapa aspek industri energi. Hal ini sangat disesalkan karena tidak banyak forum di mana masyarakat lokal atau perwakilan mereka dapat mengekspresikan ide dan tujuan mereka dalam upaya mengurangi dampak perubahan iklim.
Hasil dari keterlibatan saya dalam COP28 tahun ini, saya sampai pada kesimpulan bahwa untuk membantu pembuatan dokumen rencana iklim atau pelaksanaan program iklim, masyarakat lokal dan organisasi masyarakat sipil harus berperan aktif dan membentuk kemitraan. Salah satu caranya adalah berpartisipasi dalam program-program iklim yang dikelola pemerintah misalnya, Program Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan mengadvokasi pengembangan pedoman praktis bagi para pelaku lokal. Selain itu, untuk memastikan pelibatan kelompok perempuan, koordinasi bersama penanggung jawab gender (gender focal point) yang dipimpin oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak untuk mempersiapkan rencana iklim dengan perspektif gender.
Koalisi Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) telah dibentuk di Indonesia yang berfokus pada isu keadilan iklim dan berencana untuk membuat advokasi dan rencana aksi bersama untuk memastikan bahwa aspirasi masyarakat dan kapasitas pemerintah dalam negosiasi dapat diperhitungkan dan membawa manfaat bagi masyarakat. Di Indonesia, OMS telah bersatu untuk mengelola struktur dan rencana operasional untuk pendanaan Loss and Damage, sehingga isu ini dapat ditelusuri di tingkat nasional, termasuk advokasi untuk implementasi Jaringan Santiago tentang Loss and Damage (Santiago Network on Loss and Damage) dengan mitra di seluruh dunia.
Media Sosial
@yakkumemergency
yakkumemergency
@YEUjogja