Cerita Pejuang Hujan

Dari Keingintahuan Menjadi Budidaya: Kisah di Balik Tim Inovasi yang Mengubah Pertanian

"Ketika kami mendengar cerita petani yang mendapatkan keuntungan besar, saya itu tidak percaya. Sampai kami ikut menanam cabai dan panen empat kali, baru saya percaya. Ternyata memang keuntungannya besar." – Tukijan, Ketua Kelompok Tani Rukun Santoso

Di Dusun Temon, Kalurahan Giripurwo, Kapanewon Purwosari, Kabupaten Gunungkidul, air adalah barang langka saat kemarau tiba. Tanah kapur yang berpori membuat wilayah ini nyaris tidak memiliki mata air, menghentikan roda pertanian dan membuat para petani hanya bisa pasrah menanti hujan. Namun, kisah ini bukan tentang kepasrahan, melainkan tentang "Pejuang Hujan" —kelompok tani di balik inovasi yang mengubah keterbatasan menjadi potensi.

Belajar dari Nol, Berbuah Hasil Nyata

Kelompok Tani Rukun Santoso adalah bukti nyata bahwa keterbatasan bisa menjadi pemicu inovasi. Di awal, mereka sama sekali tidak mengenal teknologi canggih. Mereka hanya mengandalkan air hujan yang ditampung, yang sering kali tidak cukup untuk menyiram tanaman, apalagi jika kemarau datang lebih panjang dari biasanya akibat perubahan iklim.

Namun, keadaan itu berubah ketika mereka mulai berani belajar dan mencoba hal baru. Mereka beradaptasi dengan Irigasi Kabut Cerdas, sebuah sistem pertanian cerdas yang memadukan pemanenan air hujan dengan teknologi Internet of Things (IoT). Ini adalah perubahan besar bagi mereka yang sebelumnya "tidak tahu apa-apa" tentang teknologi modern, namun berakhir dengan pengetahuan dan keuntungan yang jauh lebih besar dari yang dibayangkan.

Teknologi Ramah, Dampak Melimpah

Irigasi Kabut Cerdas bekerja secara otomatis dan cerdas. Air hujan dikumpulkan dari atap, disimpan dalam tandon berkapasitas besar, kemudian disalurkan melalui pipa ke lahan pertanian. Sensor kelembaban tanah memberikan sinyal kapan tanaman membutuhkan air, dan mikrokontroler akan mengatur waktu penyemprotan serta membuka katup air hanya saat diperlukan. Semua dapat dipantau langsung dari ponsel.

Yang membuat sistem ini istimewa adalah kemampuannya beroperasi tanpa listrik karena menggunakan panel surya. Lebih dari itu, teknologi ini dirancang agar mudah dipahami dan dioperasikan, bahkan oleh petani lansia atau penyandang disabilitas. 

Sejak sistem ini diterapkan, petani di Dusun Temon bisa tetap bercocok tanam di musim kemarau. Mereka menanam cabai, dan hasilnya jauh melampaui harapan. Sejak penanaman bibit pada Mei 2025. Pendapatan meningkat, lahan lebih produktif, dan semangat para petani kembali membara. Hingga Juli ini, mereka telah panen enam kali dengan keuntungan mencapai Rp 9 juta.

Pelajaran Penting dari Temon

Dari kisah di Gunungkidul ini, kita belajar beberapa hal penting. Pertama, solusi yang berkelanjutan haruslah lahir dari kebutuhan dan partisipasi masyarakat. Kedua, teknologi akan berdampak lebih besar jika dirancang sederhana, mudah dioperasikan, dan sesuai dengan konteks lokal. Dan ketiga, perubahan yang nyata hanya mungkin terjadi ketika ada kolaborasi yang kuat—antara petani, komunitas, dan pemerintah.

 

---------------

Penulis: Nanda Annisa Husni - Koordinator Komunikasi, Informasi dan Publikasi